Panjang Jimat Perkuat Karakter Cirebon sebagai Kota Budaya

Panjang Jimat KELUARGA dan abdi dalem keraton membawa pusaka pada prosesi panjang jimat di Keraton Kanoman Kota Cirebon, Rabu (21/11/2018). Meski diguyur hujan, ribuan masyarakat tumpah ruah di tiga keraton yang menyelenggarakan puncak perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut.* Josa/KC Online

CIREBON - Panjang jimat di tiga Keraton Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan) berlangsung khidmat, Rabu (21/11/2018) malam. Meski diguyur hujan, ribuan masyarakat tumpah ruah di tiga keraton yang menyelenggarakan puncak perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw tersebut.

Kepadatan terpantau di Keraton Kanoman Cirebon saat prosesi pelaksanaan ritual panjang jimat. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya berbondong-bondong menyaksikan tradisi tahunan yang berlangsung sakral tersebut. Lantai Pendopo Jinem Keraton Kanoman dipenuhi dengan bunga melati.

Ritual panjang jimat dimulai sekitar pukul 21.00 WIB dipimpin langsung Sultan Keraton Kanoman Sultan Raja Muhammad Emirudin yang diwakili Patih Keraton Kanoman Pangeran Raja Muhammad Qodiran. 

Panjang jimat merupakan arak-arakan benda-benda pusaka yang dipergunakan untuk menyambut kelahiran Nabi dan Rasullullah Muhammad.

“Panjang jimat ini maknanya prosesi jelang kelahiran nabi. Kami mempersiapkan segalanya, termasuk pencucian benda-benda pusaka ini selama 40 hari,” kata juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina.

Arimbi mengatakan, selain benda-benda pusaka, sejumlah makanan bergizi dan wewangian pun diarak. Arak-arakan dimulai dari Pendopo Jinem menuju Masjid Keraton Kanoman. Iring-iringan abdi dalam yang membawa pusaka menjadi pusat perhatian masyarakat. Suasana pun seketia gaduh saat benda-benda pusaka mulai keluar dari Pendopo Jinem.  Tepat memasuki halaman Masjid Keraton Kanoman, salawat berkumandang. 

Masyarakat dan abdi dalam tak henti-hentinya mengucapkan salawat. Satu per satu pusaka masuk ke masjid. Kemudian, pusaka diletakkan di ruang utama masjid. Usai prosesi acara, nasi dan lauk pauk itu dibagikan ke keluarga keraton dan masyarakat sekitar.

Sementara itu, Penjabat Walikota Cirebon, Dedi Taufik mengapresiasi penuh atas pelaksanaan tradisi Panjang Jimat yang semakin memperkuat karakter Cirebon. Menurutnya, ritual yang berlangsung sebagai simbol bahwasanya kota budaya dan kota pusaka yang kental dengan nilai-nilai ajaran Islam ada di Cirebon. “Tradisi panjang jimat sarat akan makna dan memiliki nilai-nilai sejarah,” katanya.

Sedangkan di Keraton Kasepuhan, perangkat pelal diarak dari mulai Keraton Kasepuhan menuju masjid agung keraton yang berjarak sekitar 300 meter. Ada 16 simbol arak-arakan yang menceritakan drama kelahiran Nabi Muhammad.

Diawali dari rombongan pembawa payung keropak, tunggul manik, lilin dan damar kurung sampai pembawa tujuh nasi jimat di atas piring besar atau panjang. Ini menggambarkan kesiapan Abdul Mutholib, menyambut kelahiran Nabi Muhammad, cucunya.

Keindahan Damar
Keindahan puluhan damar kurung-semacam lampion warna-warni yang mengawali arak-arakan menjadi daya tarik tersendiri. Prosesi diakhiri dengan pembacaan barjanji (asrakalan) dan salawat untuk Nabi Muhammad Saw.

Makanan yang sudah mendapat doa-doa itu kemudian dibagi-bagikan kepada sultan, famili, abdi dalem dan warga. Saat itulah makanan yang telah didoakan seperti bekasem ikan, nasi tumpeng, nasi uduk, nasi putih dan terutama “nasi jimat”, menjadi rebutan ribuan warga yang sudah menunggu di halaman keraton.

Menurut Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, perayaan Maulud Nabi sebenarnya lebih kepada menggugah masyarakat untuk meneladani perilaku dan sunah Nabi.

Meski kental nuansa religi, menurut Arief, tradisi muludan hingga prosesi panjang jimat sejatinya peristiwa multidimensi. “Bukan hanya sekadar tradisi tetapi peristiwa budaya religi, tetapi juga sosial dan ekonomi,“ katanya.

Sehingga, menurut Arief, esensi dari pelal adalah upaya untuk selalu mengingat sosok agung Nabi Muhammad Saw, dengan selalu meneladani ajaran dan ujar-ujarannya.

Menurut dia, ada dimensi ketauhidan dalam prosesi pelal, yakni menjadi semacam kekuatan pengingat bagi umat Islam,  untuk selalu menjaga syahadat. “Ada juga ruang pertemuan sosial budaya dan ekonomi, sehingga pelal bukan hanya milik umat Islam tetapi juga agama lain,“ beber Sultan Arief.

Selama sepekan sebelum malam puncak pelal, Sultan Sepuh menggelar tradisi caos atau semacam open house untuk bersilaturahmi langsung dengan abdi dalem, warga dan wargi keraton yang berbondong-bondong datang ke keraton.

“Muludan di Keraton Kasepuhan juga menjadi ajang silaturahmi para abdi dalem, para wargi, masyarakat dari berbagai pelosok daerah dan ribuan orang dengan sultan sepuh,” katanya.


Muludan, lanjut dia, juga menjadi potensi pariwisata budaya terbesar di Jawa Barat dengan jumlah pengunjung lebih dari 200.000 wisatawan selama sebulan. (kabar-cirebon)

Subscribe to receive free email updates: